Senin, 24 Januari 2011

      Wanita yang arif dan bijaksana melukis kekuatan lewat masalahnya,
tersenyum saat tertekan,
tertawa saat hati sedang menangis,
memberkahi saat dihina,
mempesona karena memaafkan ...
wanita yang arif dan bijaksana mengasihi tanpa pamrih,
bertambah kuat dalam doa dan pengharapan ....
kata-kata ini diperuntukkan untuk setiap wanita solehah kepunyaan Allah Swt. dimanapun dan kapan pun


                  Alkisah, Imam Syafi’i atau Imam Madzahibul Arba’ yang terkenal cerdas dan paling banyak pengikutnya, bisa dibilang diatara hujjah-hujjahnya terkadang tidak sama dengan para muridnya dan juga dengan gurunya. Imam Hanafi, salah satu murid beliau yang paling cerdas, terkadang dalam berhujjah tidak sama dengan gurunya. Begitu juga dengan Imam Abu Hanifah, meskipun Imam Syafi’i tidak sezaman dengan beliau, Imam Abu Hanafi bagi Imam Syafi’i telah dianggap sebagai guru rohani beliau yang paling dihormati dan disegani. Hal ini terbukti dikala ada satu perbedaan mengenai kaifiyatu atau cara berdo’a. Imam Abu Hanafi dalam berdo’a, beliau tidak menyuruh para pengikutnya untuk menengadahkan atau mengangkat ke dua tangan. Sedangkan Imam Syafi’i, beliau selalu menganjurkan kepada para pengikutnya untuk mengangkat ke dua tangan. Nah, pada satu ketika di mana Imam Syafi’i saat itu berziarah ke makam Imam Abu Hanifah, sesampainya di sana, beliau ketika berdo’a tidak mengangkat ke dua tangannya. Sepintas hal ini terlihat aneh, Imam Syafi’i yang mengajarkan kepada para pengikutnya supaya mengangkat tangan ketikan berdo’a, beliau sendiri ternyata ketika berdo’a di depan makam Imam Abu Hanafi tidak mengangkat ke dua tangan. Mengapa Imam Syafi’i melakukan demikian? Hal ini tidak lain, tindakan beliau itu dalam rangka menghormati hujjah atau ajaran gurunya Imam Hanifah yang mengajarkan bahwa ketika berdo’a tidak usah mengangkat ke dua tangan. Kisah serupa juga pernah diungkap, bahwa suatu hari KH. Hasyim As’ari hendak silaturrahmi kepada KH. Sholeh Mas Kumambang-Gresik. Mendengar berita bahwa pendidri NU ini akan datang, maka seminggu sebelum kedatangan KH. Hasyim As’ari, beliau Kyai Sholeh menginstruksikan kepada semua warga sekitar agar tidak menabuh kentongan atau jedor baik yang ada di mushollah ataupun yang ada di masjid. Hal ini dilakukan tidak lain, karena beliau sangat menghormati KH. Hasyim As’ari yang salah satu hujjahnya, beliau tidak menganjurkan menabuh kentongan atau jedor di masjid atau di mushollah ketika hendak sholat. Sedangkan KH. Sholeh Mas Kumambang sendiri termasuk salah satu ulama’ yang menganjurkan para pengikutnya untuk menabuh jedor atau kentongan ketika hendak sholat. Subhanallah….! Inilah yang dikatakan memahami perbedaan dengan sikap ‘arif dan bijaksana. Dan juga termasuk cerminan bagi generasi ulama’ berikutnya untuk tidak saling gontok-gontokan, saling ngotot hanya karena berbeda pendapat dalam urusan agama. Asalkan bukan masalah syariat dan ‘aqidah, mengapa kita harus saling menonjolkan sikap egoisme, bahkan lebih-lebih kyai sana dengan kyai situ, ustadz sana dengan ustadz situ saling bermusuhan hanya karena beda pemahaman saja. Jika kita bandingkan, lebih hebat mana anda yang bergelar seorang kyai ataupun tokoh masyarakat dengan Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, KH. Hasyim As’ari dan KH. Sholeh? Hanya karena masalah sepeleh saja, anda sudah melahirkan image ketidakharmonisan dalam menjalankan perintah Allah dan rosulnya. Mereka yang sangat ‘alim dan ‘arif seperti itu tidak pernah ribut apalagi tawur dalam masalah-masalah agama yang sebenarnya tidak pantas untuk diperdebatkan, mereka justru saling menghormati dan selalu bersikap ‘arif dan bijaksana menanggapi perbedaan tersebut. Diakui atau tidak, image ketidakharmonisan seperti di atas kerap kita jumpai di kalangan tokoh masyarakat kita. Meskipun tidak mayoritas, setidaknya pandangan kurang sedap tersebut akan mendapat penilaian yang sangat sensitif dari masyarakat atau orang-orang awam yang ada di bawahnya. Maka jangan heran, jika ada ungkapan-ungkapan kata seperti; “kyai kok malah ribot lan carok karepe dewe”, “kyaine ae wes ribot,opomane pengikute?” Ya, kata-kata inilah yang sering kita dengar dari obrolan dan cangkruan masyarakat. Jika kondisi seperti ini terus terjadi, bukan tidak mungkin masyarakat justru menjauhi para pemuka agama dalam kehidupan mereka. Jika sudah demikian, pantaskah jika kita menyalahkan sikap mereka yang memilih ‘anti kyai’ atau lain sebagainya. Tulisan ini dibuat bukan berarti ingin menggurui mereka para tokoh masyarakat yang sedang menjalankan misi dakwahnya. Tanpa mengurangi rasa ta’dim dan hormat, penulis hanya menggambarkan satu kondisi hidup yang dinilai kurang pantas untuk dilakukan apalagi di budidayakan. Lewat tulisan sederhana ini, setidaknya ada muatan atau kandungan nilai yang mungkin bisa kita ambil, atau setidaknya kita segera instropeksi diri dan berbenah diri dari ‘kebiasaan’ yang kurang pantas dilakukan bagi seorang pemuka agama (khususnya). Sebagaimana kita tahu, bahwa perbedaan (khususnya dalam ideologi) merupakan hal yang sangat wajar dan sah-sah saja. Justru di sinilah letak kekuasaan Allah SWT. Meskipun Allah membekali kita dengan akal dan pikiran, toh, dalam menghadapi persoalan hidup, kita pun memiliki cara yang berbeda dalam mengatasinya. Yang ada justru dengan perbedaan ideologi inilah kita bisa saling melengkapi satu sama lain, dan bisa tukar pendapat. Dari sinilah, kita seharusnya juga saling bahu-membahu dan menciptakan suasana kondusif, serta yang terpenting dari itu semua adalah, kita bisa sadar bahwa sehebat dan sepintar apapun kita dalam mengarungi roda kehidupan, kita tetap masih membutuhkan bantuan orang lain, baik bantuan berupa fisik, ataupun bantuan pemikiran. Hal ini tidak lain, karena kita pada dasarnya adalah mahluk yang lemah dan tak kuasa. Dengan terciptanya suatu pemikiran atau pemahaman yang berbeda-beda antara ulama’ A dan ulama’ B, kyai A dengan kyai B, seharusnya harus saling menghargai dan bisa menerima perbedaan tersebut. Bukan malah memperkeruh satu permasalahan yang terjadi karena bedanya pemahaman. Lihat kembali bagaimana sejarah Imam Syafi’i, Imam Abu Hanafi, KH. Hasyim As’ari, dan KH. Sholeh, serta ulama yang lain dalam merespon dan menyikapi permasalahan beda pendapat tersebut. Tidak pernah terdengar di antara mereka saling mengunggulkan pendapatnya masing-masing, apalagi menyikapi perbedaan tersebut dengan letupan emosi dan bersikap apriori. Ulama’ adalah jembatan di tengah-tengah permasalahan yang sedang bergulat di masyarakat, sekaligus ‘tongkat’ bagi umat dalam menjalani kehidupan. Jika diatara mereka saja sudah tidak lagi terjadi keharmonisan, saling mengunggulkan diri, tidak mau menerima pendapat ulama’ lain, serta saling mendahulukan ego masing-masing, apakah dengan kondisi seperti ini estafet kepemimpinan rosul bisa terus berjalan? Serta bagaimana reaksi masyarakat yang ia bina ketika melihat para tokoh idamannya sudah tidak lagi mencerminkan kesahajaan, dan tidak lagi menampakkan keharmonisan diantara sesamanya? Sekali lagi penulis sampaikan, bahwa dengan segala bentuk perbedaan (terutama masalah pemikiran), ulama’ ataupun tokoh masyarakat harus tetap menjaga ukhuwah islamiyah, tetap menjaga image baik di depan masyarakat, dan menerima perbedaan tersebut dengan sikap terbuka serta menyikapinya dengan ‘arif dan bijaksana. Jika hal ini bisa tercipta, maka perbedaan tetap menjadi satu hal yang indah, dan semakin memberikan kesan, bahwa perbedaan tersebut adalah salah satu seni kehidupan, hasil kreasi pemikiran manusia, serta karya seseorang yang harus diabadikan.



                  "MUSLIMAH MUKMINAH YANG SEJATI"  
     Seringkali kita mendengarkan tentang kisah-kisah srikandi    Islam yang gagah berani seperti Siti Fatimah, Khadijah r.a., Khaulah Al-Azwar, Nusaibah serta ramai lagi muslimah-muslimah tauladan. Ramai yang mengatakan bahawa tidak mungkin kita akan mencapai tahap srikandi-srikandi mulia tersebut. Namun sedarkah kita, penilaian terhadap perjuangan seseorang itu hanyalah Allah s.w.t. yang berkuasa menentukan.
        Keikhlasan dan kesediaan kita untuk menyerahkan diri sepenuhnya pada jalan perjuangan Islam ini adalah tunjang utama untuk menjadi mujahidah sejati. Namun syarat yang paling utama ialah keutuhan aqidah yang akan mendorong kita untuk thabat dalam membantu agama Allah s.w.t.
        Ingatlah, dahulu kaum wanita menjadi bahan hinaan kaum-kaum jahiliyah terdahulu bahkan dianggap lebih hina dari binatang. Namun, cahaya Islam merubah segalanya. Kaum wanita diangkat martabatnya dan diberi hak yang sewajarnya. Islam memuliakan wanita sehingga terdapat surah An-Nisa’ yang bermakna ‘wanita-wanita’ yang banyak menyentuh tentang hal ehwal wanita. Di sini, saya ingin menyentuh beberapa skop muslimah sebagai pejuang agama secara ringkas.
        Jika menyentuh tentang perkara ini, pasti kita tidak lari dari memikirkan tentang puteri-puteri Rasulullah seperti Zainab, Ruqaiyyah, Ummu Kaltsum dan Fatimah. Namun, sejarah lebih ‘menghighlightkan’ Fatimah dari segi seorang anak kerana rapatnya beliau dengan Rasulullah. Fatimah lah yang membersihkan belakang Rasulullah apabila diletakkan najis oleh kaum musyrikin bahkan beliaulah yang memangku baginda Rasul di saat menjelang kewafatan baginda. Bagaimana pula dengan kita?

Secara umumnya, wajib ke atas anak itu membantu kedua ibu-bapanya serta berusaha tidak membebankan mereka dari segala segi. Jika sahabat-sahabat memiliki bapa atau ibu atau kedua-duanya yang beriltizam sepenuhnya dengan jamaah, maka hendaklah memahami mereka terutama pada saat-saat kesulitan seperti kesuntukan waktu atau harta. Bahkan, perlu bersiap-sedia menghadapi kemungkinan yang lebih dari itu kerana jalan perjuangan itu penuh mehnah dan tribulasi.
        Bagi mereka yang memiliki ibu bapa yang neutral atau pun menentang, hendaklah berusaha memahamkan mereka tentang Islam secara beransur-ansur. Jangan mengharapkan mereka akan memahami kita jika tidak menjaga adab dan tanggungjawab sebagai anak sebagaimana sepatutnya. Tidak perlulah diceritakan tentang penglibatan kita dalam jamaah kerana mereka pastinya akan bimbang lantas melarang kita menyertai perjuangan ini lantaran ketidakfahaman. Tetapi cukuplah kita berusaha menjadi anak yang soleh dan tidak menyakitkan hati mereka walaupun pemikiran dan pemahaman adalah bertentangan. Ingat, sehebat mana seorang anak itu, redha ibu bapa lah yang akan memandu kita kepada redha Allah.


                Walaupun KIta belum berkahwin, tetapi hendaklah mengambil kisah akan hal ini kerana ia adalah masa depan dunia dan akhirat. Pertamanya amatlah dituntut kepada para mujahidah memilih para mujahid yang beriltizam dengan perjuangan Islam. Walaupun kita tidak tahu apa yang akan terjadi pada masa hadapan, namun ciri-ciri itu sudah dapat dilihat pada usia seorang pemuda. Perkara ini penting bagi melahirkan baitul muslim yang akan melahirkan masyarakat muslim yang akan mendokong ke arah tertegaknya Islam di bumi ini.
             Hendaklah kalian menjadi sayap kiri perjuangan suami dan memahami bahawa perjuangan ini menuntut pengorbanan dan pastinya tidak dimanjai dengan harta dunia. Bersiap-sedialah untuk meletakkan Islam sebagai kepentingan dan agenda utama hidup suami kalian bahkan hidup diri kalian sendiri. Ingatlah akan pengorbanan Saidatina Khadijah dalam membantu perjuangan Rasulullah dan menjadi peneman suka duka baginda sehingga tiada gantinya lagi.
              Selain itu, sudah menjadi tanggungjawab kalian untuk memberi motivasi kepada para isteri mujahidin yang lain supaya mereka tidak tergugat dengan dugaan dan tidak goyah dengan harta dunia.
             Ini merupakan ‘stage’ terpenting kerana diibaratkan tangan ibu itu bisa menggoncang dunia. Dari rahim yang lembut itu, lahir Rasulullah s.a.w. yang tercinta. Dari rahim yang lembut itu lahir pejuang-pejuang Islam seperti Muhammad Al-Fateh, Salahuddin Al-Ayyubi dan Imam Hasan Al-Banna. Juga dari rahim yang lembut tetapi utuh itu lahir para ulama’ dan tokoh-tokoh agama yang ulung seperti Imam Malik, Imam As-Syafe’i dan Imam Bukhari.
                Jika menyusur sirah para nabi, kebanyakannya ibu mereka adalah terdiri daripada wanita yang solehah seperti Maryam ibu Nabi Isa, Ibu Nabi Musa, Siti Hajar ibu nabi Ismail dan ibu nabi Sulaiman. Begitu juga dengan ibu para ulama’ seperti ibu Imam Bukhari yang tidak jemu-jemu mendoakan dan menjaga anaknya yang buta sehingga menjadi celik semula seterusnya menjadi ulama’ Hadith yang ulung.
     Maka di sini, dapat diambil contoh tauladan oleh para mujahidah dalam melahirkan dan mendidik generasi yang akan menjadi pewaris ulama’ dan jundullah. Sebagai ibu, hendaklah berusaha membentuk anak-anak menjadi generasi al-Quran serta menjadikan sunnah Rasul ikutan hidup mereka.
      Mutakhir ini, para muslimah telah diberi peranan penting dalam gerakan Islam sehingga ditubuhkan tanzim khas untuk muslimat seperti Dewan Muslimat dan Unit Helwi. Memandangkan AM adalah sebuah jamaah yang masih kecil, maka unit muslimat ini bukanlah sebuah unit yang dhoruriyat mahupun hajiyat untuk ditubuhkan bahkan kita tidak mempunyai kapasiti yang secukupnya untuk itu.



            Muslimin dan muslimat bekerja bersama-sama saling bantu membantu dalam batas syara’ untuk gerak kerja jamaah. Bahkan, terdapat jamaah yang majoritinya adalah muslimat dan yang menggiatkannya adalah kaum hawa ini. Walaupun muslimat tidak mempunyai taklifan syara’ untuk bergiat dalam harakah Islamiyyah, namun memandangkan senario semasa kini di mana kaum Hawa lebih ramai dari kaum Adam memerlukan muslimat untuk turun bersama para muslimin.
                Muslimat pada zaman Rasulullah turut turun ke medan perang untuk membantu para muslimin dari belakang seperti mengubati para tentera yang cedera. Malah terdapat para muslimat yang turut masuk ke medan tempur seperti Nusaibah dan Khaulah Al-Azwar.
             Bahkan, dengan keterlibatan muslimat dalam gerak kerja Islam dapat menangkis tuduhan-tuduhan yang mengatakan Islam itu mengongkong kaum wanita. Ia juga dapat membuka mata-mata mereka dengan kehebatan wanita muslim dalam perjuangan Islam.
            Ingatlah sahabat-sahabat sekalian, bukanlah mudah untuk menjadi mujahidah sejati. Pelbagai rintangan yang perlu dilalui untuk bergelar mujahidah yang diiktiraf Allah. Jika Barat bangga dengan Joan of Ark, kita patut lebih berbangga lagi dengan mujahidah-mujahidah Islam seperti Sumaiyah dan Zainab Al-Ghazali.
            Kepada yang masih solo, jangan dirisau akan jodohmu kerana mujahid yang sejati itu bukanlah tertarik pada rupa tetapi pada perjuanganmu fisabilillah.Rupa paras bukanlah ukuran nilai pada seorang muslimah tetapi iman dan keutuhan jiwa yang berada pada dirinya. Pernah terjadi di Iran di mana wanita-wanita Iran memilih kaum-kaum lelaki yang cedera dalam pertempuran sebagai suami. Malah kaum lelaki terdiri daripada orang-orang yang terpotong kaki dan tangannya akibat perang melawan musuh Allah. Kaum wanita itu mengiginkan lelaki yang bersih jiwanya dan telah teruji bahawa lelaki itu telah siap menyerahkan jiwa raganya untuk Allah yang mereka cintai.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar