Rabu, 27 April 2011


Hati yang Hidup, Hati yang Sakit, dan Hati yang Mati



Ketahuilah saudaraku, bahwa kedudukan hati manusia bertingkat-tingkat, ada hati yang hidup, hati yang mati dan ada hati yang sakit. Allah ta’ala berfirman
أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya?” (Al An’aam : 122 )
Hati yang hidup adalah hati yang ketika ditawarkan kepadanya kebatilan dan berbagai macam perbuatan keji, maka dengan kesadarannya dia akan menjauh darinya dan membenci perbuatan-perbuatan tersebut, bahkan tidak condong sedikitpun kepadanya.
Berbeda  halnya dengan kondisi hati yang mati. Sesungguhnya hati yang mati tidak akan bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu :
هلك من لم يكن له قلب يعرف به المعروف والمنكر
“Celakalah bagi mereka yang tidak memiliki hati, yaitu hati yang bisa mengenal manakah kebaikan dan manakah keburukan”

Demikian halnya, kita jumpai ada pula hati yang sakit, yaitu hati yang sakit karena terserang penyakit syahwat. Sesungguhnya hati yang demikian akan condong kepada keburukan yang ditawarkan kepada dirinya, dikarenakan lemahnya hati tersebut. Kecondongannya terhadap kebatilan akan berbanding lurus dengan parah dan tidaknya penyakit yang bersarang di dalam hatinya. (Lihat penjelasan Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi dalam Syarah Aqidah Ath Thahawiyah, Darul ‘Aqidah, halaman 253-254)
Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi rahimahullahu menuturkan di dalam Syarah Aqidah Ath Thahawiyah, “Adapun penyakit hati ada dua macam, sebagaimana telah berlalu, yaitu penyakit syahwat dan penyakit syubhat. Dari kedua penyakit ini yang lebih berbahaya adalah penyakit syubhat” (Lihat penjelasan Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi dalam Syarah Aqidah Ath Thahawiyah, Darul ‘Aqidah, halaman 254)
Terkadang penyakit hati yang bersarang di dalam hati seseorang semakin bertambah parah, dan sang pemilik hati tidak menyadarinya, dikarenakan dirinya berpaling dari mengenal hati yang sehat dan sebab-sebab yang bisa menghantarkan kepada sehatnya hati. Namun ada yang lebih parah dari keadaan ini, yaitu orang yang hatinya mati, namun dirinya tidak merasakan kematian hatinya. (Lihat penjelasan Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi dalam Syarah Aqidah Ath Thahawiyah, Darul ‘Aqidah, halaman 254)
Sungguh hal yang demikian, yaitu mati dan kerasnya hati ini merupakan bahaya yang sangat besar, sebagaimana dikatakan oleh Malik ibnu Dinar rahimahullahu:
إن لله عقوبات في القلوب والأبدان؛ ضنك المعيشة، ووهن في العبادة، وما ضرب عبد بعقوبة أعظم من قسوة القلب.
Sesungguhnya Allah memiliki berbagai macam hukuman yang menimpa hati dan badan, yaitu sempitnya penghidupan dan lemah dalam beribadah, dan tidaklah ada sesuatu yang lebih bahaya menimpa seorang hamba melainkan kerasnya hati.” (Hilyatul Auliya’, Abu Nu’aim Al Ashbahany, Maktabah Syamilah)
Di antara tanda-tanda matinya hati seseorang adalah tatkala keburukan dan dosa tidak lagi membuat hatinya terluka. Begitu pula ketika kebodohannya terhadap kebenaran dan ketidaktahuannya tentang aqidah yang rusak tidak lagi melukai hatinya. Karena sesungguhnya hati yang hidup dan sehat, akan mampu merasakan sayatan luka keburukan yang menimpa dirinya, dan dapat merasakan goresan luka yang disebabkan kebodohannya terhadap al haq. Hal ini akan sebanding dengan kadar kehidupan yang ada di dalam hatinya. Luka pada orang yang mati, tentu tidak akan merasakan rasa sakit. (Lihat penjelasan Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi dalam Syarah Aqidah Ath Thahawiyah, Darul ‘Aqidah, halaman 254)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar